Tak Hanya Pilihan Tanpa Halangan
Sore baru saja hadir, semilir anginnya terasa lembut membelai wajah perempuan itu. “Oh… inilah kuasa Allah yang teramat besar bagi manusia” bisik hatinya. Dan memang sangat besar kuasa Tuhan atas manusia serta seluruh isi alam raya yang ada ini.
Aisya namanya, gadis cantik yang baru saja meraih gelar sarjana komputer dari salah satu Universitas Swasta di Kota Atlas. Pintar, santun, dan riang, itulah kesan yang telah melekat sebagai penghargaan dari teman-teman atas sikapnya selama ini. Namun entahlah, sore ini tak terlihat keriangan diwajahnya. Air matanya serus mengalir, menghanyutkannya pada masalah yang akhir-akhir ini datang. Begitulah….
Aisyah, masa studi telah selesai dan beranjak pada jenjang yang lain sebagai bagian dari kehidupannya. Dan itulah masalahnya. Dua hari yang lalu, ia datang kesebuah perusahaan untuk prases wawancara, setelah sebelumnya ia berhasil lolos dalam tahap administrasi serta tes tertulis. Tidak begitu sulit, dan ia yakin dapat lolos pada tahap terakhir ini. Tak ada kesulitan memang, lancar dan teramatat menyenangkan. Bicara tentang wawasan pemahan internal perusahaan, kemudian teknis kerja yang akan dijalankan, hingga masalah penentuan gaji, semua teratasi tanpa kendala yang berarti. Namun ada satu yang sungguh terasa memukul batinnya. Perusahaan menanyakan kesediaan untuk melepas jilbab yang selama ini melekat pada dirinya, syarat mutlak yang harus dipenuhi jika ingin bekerja disitu, dengan posisi yang bagus serta gaji yang cukup.
Seekor burung melintas di angkasa, ada kebebasan dari kepakan sayap yang melambungkan tubuhnya. Aisya terpana, melihat kebebasan burung dan ketaatannya pada Allah sang pencipta. “Betapa tenang burung itu” bisik hatinya. Kembali Ia tenggelam dalam dalam konflik batin dan akal. Bagaimanapun Aisya membutuhkan pekerjaan itu, sangat! Karena kini dialah harapan keluarga, yang dituntut mampu menopang biaya pendidikan adik-adiknya. Siapa lagi? Ayahnya telah meninggal dunia, sedang sang ibu kini telah rapuh dimakan usia.
Ia masih tetap termenung diteras rumah. Duduk di atas kursi bambu dibawah pohon mangga yang belum berbuah. Hatinya terasa nyilu, himpitan masalah yang kini dihadapinya. Besok kepastian itu harus diambil, melepaskan jilbab demi pekerjaan yang benar-benar ia butuhkan. Jilbabnya bergerak ditiup angin, seperti gelombang laut yang menenangkan bila dipandang. Oh, Aisya….
Haruskah ia melepas jilbabnya? Bagaimana ia akan mempertanggung jawabkan semua itu pada Allah nantinya? Tapi ia juga membutuhkan pekerjaan itu, sangat membutuhkan! Belum tentu ada kesempatan kedua esok hari, bekerja di perusahaan besar, sebagai sekretaris dengan gaji awal 1,5 juta perbulan. Betapa menggiurkan, apalagi melihat kodisinya saat ini. Ibunya mulai sakit-sakitan, sedang dua adiknya membutuhkan biaya untuk kelanjutan studi mereka. Jadi kenapa tidak diambil? Pertimbangan-pertimbangan itu terus berkecamuk. Air matanya kembali menetes, ia menangis sejadi-jadinya, memohon kepada Tuhan, jalan keluar atas apa yang sedang ia hadapi kini.
Senja memang mulai menua, dari arah masjid terdengar lantunan surat al-Baqarah yang menghangatkan jiwa-jiwa yang mendengar. Sungguh sangat indah kalimat yang terukir, pilihan kata-kata terbaik yang mampu meneguhkan hati yang lemah, sekaligus menenangkan jiwa yang gelisah. “Ulaa-ikalladziinashtarawu….. “ayat 86 memasuki telinga Aisya, dia terperanjat, seakan teringat hal penting yang lama tak diingatnya.
“Aatagfirullahal ‘Adzim ya Rab..” Dadanya bergetar, ada kekuatan yang muncul tiba-tiba. Ia malu…. Ayat itu menegur kebimbangannya. “Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka tidak akan diringankan adzabnya, dan mereka tidak akan ditolong”
Oh, hampir-hampir ia gadaikan aqidahnya demi dunia yang fana ini. Ia tersadar bahwa Allahlah yang mengatur rizqi manusia, jadi kenapa ia harus berpaling dari perintahnya untuk mendapatkan rizqi itu., bukankah malah terbalik? Harusnya ia mengejar cinta Allah agar Dia memudahkan rizkinya, jadi kenapa meski bingung?. Pikian-pikiran itu memenuhi otaknya, ada yang terasa segar kini. Aisya telah menemukan jalannya, aqidah ini harus dipegang. Jilbab ini tak akan ditangglakan, buakankah kehidupan dunia ini Allah yang mengaturnya? Jadi kenapa kita justru menyakiti-Nya untuk mendapatkan kehidupan ini? Ia tertawa sendiri, menyadari betapa kebimbangannya selama ini tak beralasan. “Alhamdulilillah…” bisiknya Senja hampir hilang, menyisakan keyakinan yang bulat bagi Aisyah. Ia tersenyum. Angin sore mengalun, sungguh kuasa Allah meliputi jagat raya dan isinya.
Sore baru saja hadir, semilir anginnya terasa lembut membelai wajah perempuan itu. “Oh… inilah kuasa Allah yang teramat besar bagi manusia” bisik hatinya. Dan memang sangat besar kuasa Tuhan atas manusia serta seluruh isi alam raya yang ada ini.
Aisya namanya, gadis cantik yang baru saja meraih gelar sarjana komputer dari salah satu Universitas Swasta di Kota Atlas. Pintar, santun, dan riang, itulah kesan yang telah melekat sebagai penghargaan dari teman-teman atas sikapnya selama ini. Namun entahlah, sore ini tak terlihat keriangan diwajahnya. Air matanya serus mengalir, menghanyutkannya pada masalah yang akhir-akhir ini datang. Begitulah….
Aisyah, masa studi telah selesai dan beranjak pada jenjang yang lain sebagai bagian dari kehidupannya. Dan itulah masalahnya. Dua hari yang lalu, ia datang kesebuah perusahaan untuk prases wawancara, setelah sebelumnya ia berhasil lolos dalam tahap administrasi serta tes tertulis. Tidak begitu sulit, dan ia yakin dapat lolos pada tahap terakhir ini. Tak ada kesulitan memang, lancar dan teramatat menyenangkan. Bicara tentang wawasan pemahan internal perusahaan, kemudian teknis kerja yang akan dijalankan, hingga masalah penentuan gaji, semua teratasi tanpa kendala yang berarti. Namun ada satu yang sungguh terasa memukul batinnya. Perusahaan menanyakan kesediaan untuk melepas jilbab yang selama ini melekat pada dirinya, syarat mutlak yang harus dipenuhi jika ingin bekerja disitu, dengan posisi yang bagus serta gaji yang cukup.
Seekor burung melintas di angkasa, ada kebebasan dari kepakan sayap yang melambungkan tubuhnya. Aisya terpana, melihat kebebasan burung dan ketaatannya pada Allah sang pencipta. “Betapa tenang burung itu” bisik hatinya. Kembali Ia tenggelam dalam dalam konflik batin dan akal. Bagaimanapun Aisya membutuhkan pekerjaan itu, sangat! Karena kini dialah harapan keluarga, yang dituntut mampu menopang biaya pendidikan adik-adiknya. Siapa lagi? Ayahnya telah meninggal dunia, sedang sang ibu kini telah rapuh dimakan usia.
Ia masih tetap termenung diteras rumah. Duduk di atas kursi bambu dibawah pohon mangga yang belum berbuah. Hatinya terasa nyilu, himpitan masalah yang kini dihadapinya. Besok kepastian itu harus diambil, melepaskan jilbab demi pekerjaan yang benar-benar ia butuhkan. Jilbabnya bergerak ditiup angin, seperti gelombang laut yang menenangkan bila dipandang. Oh, Aisya….
Haruskah ia melepas jilbabnya? Bagaimana ia akan mempertanggung jawabkan semua itu pada Allah nantinya? Tapi ia juga membutuhkan pekerjaan itu, sangat membutuhkan! Belum tentu ada kesempatan kedua esok hari, bekerja di perusahaan besar, sebagai sekretaris dengan gaji awal 1,5 juta perbulan. Betapa menggiurkan, apalagi melihat kodisinya saat ini. Ibunya mulai sakit-sakitan, sedang dua adiknya membutuhkan biaya untuk kelanjutan studi mereka. Jadi kenapa tidak diambil? Pertimbangan-pertimbangan itu terus berkecamuk. Air matanya kembali menetes, ia menangis sejadi-jadinya, memohon kepada Tuhan, jalan keluar atas apa yang sedang ia hadapi kini.
Senja memang mulai menua, dari arah masjid terdengar lantunan surat al-Baqarah yang menghangatkan jiwa-jiwa yang mendengar. Sungguh sangat indah kalimat yang terukir, pilihan kata-kata terbaik yang mampu meneguhkan hati yang lemah, sekaligus menenangkan jiwa yang gelisah. “Ulaa-ikalladziinashtarawu….. “ayat 86 memasuki telinga Aisya, dia terperanjat, seakan teringat hal penting yang lama tak diingatnya.
“Aatagfirullahal ‘Adzim ya Rab..” Dadanya bergetar, ada kekuatan yang muncul tiba-tiba. Ia malu…. Ayat itu menegur kebimbangannya. “Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka tidak akan diringankan adzabnya, dan mereka tidak akan ditolong”
Oh, hampir-hampir ia gadaikan aqidahnya demi dunia yang fana ini. Ia tersadar bahwa Allahlah yang mengatur rizqi manusia, jadi kenapa ia harus berpaling dari perintahnya untuk mendapatkan rizqi itu., bukankah malah terbalik? Harusnya ia mengejar cinta Allah agar Dia memudahkan rizkinya, jadi kenapa meski bingung?. Pikian-pikiran itu memenuhi otaknya, ada yang terasa segar kini. Aisya telah menemukan jalannya, aqidah ini harus dipegang. Jilbab ini tak akan ditangglakan, buakankah kehidupan dunia ini Allah yang mengaturnya? Jadi kenapa kita justru menyakiti-Nya untuk mendapatkan kehidupan ini? Ia tertawa sendiri, menyadari betapa kebimbangannya selama ini tak beralasan. “Alhamdulilillah…” bisiknya Senja hampir hilang, menyisakan keyakinan yang bulat bagi Aisyah. Ia tersenyum. Angin sore mengalun, sungguh kuasa Allah meliputi jagat raya dan isinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar