29 Januari 2008

Fiqh

Celana
Alternatif “Abu-abu” Bagi Wanita

Celana panjang menjadi alternatif bagi kaum wanita dalam mengatasi problematika busana. Aktivitas yang menuntut pola kerja cepat, mendorong mereka memilih celana sebagai busana yang praktis namun tetap elegan.

Dewasa ini banyak kita jumpai trend mode busana yang jauh dari tuntunan syariat. Mulai dari baju dengan ukuran ketat, hingga model terbuka sehingga memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang harusnya ditutupi. Cara pandang yang telah jauh berbeda, menyebabkan pola berbeda dalam memilih jenis pakaian. Terlebih jika melihat kesibukan serta kondisi sosial yang ada. Seringkali hal itu mengarah pada pilihan baju praktis dan sporti. Hanya saja, pilihan tersebut diambil tanpa mempertimbangkan segi syariat yang berlaku. Paling jauh, seseorang hanya menjadikan sisi etika sebagai pedoman dalam memilihnya. Dari sini, lahirlah model-model baju terbuka yang jelas-jelas melanggar ketentuan Allah.
Lebih khusus, demi memenuhi kebutuhan busana praktis dan sporti dalam mensikapi aktivitasnya, seorang wanita seringkali menjadikan celana panjang sebagai pilihannya dengan harapan mampu mengatasi problematika yang dialami saat ini. Hanya saja, apakah pilihan ini sesuai dengan syariat yang digariskan Allah?
Pertanyaan itu harusnya menjadi tolah ukur dalam menentukan pilihan, dalam hal ini mengenai busana wanita. Garis syariat yang telah jelas, diharapkan mampu menjadi nafas bagi para designer dalam melahirkan karya-karyanya untuk diterapkan pada masyarakat umum. Apakah telah demikian yang terjadi? Pada kenyataannya, sangat sedikit kita jumpai designer dengan mode-mode busana seperti itu. Mayoritas pencetus mode itu menghasilkan busana serba terbuka dan justru menonjolkan lekuk tubuh pemakainya. Bahkan lebih memprihatinkan, para designer busana muslim yang jumlahnya sangat sedikit itu, banyak menjadikan sisi keindahan sebagai pertimbangan karyanya ketimbang sisi syariat. Sehingga lengkaplah sudah, kesulitan-kesulitan dalam menentukan pilihan busana yang akan dipakai.

Pembuktian yang terlalu jauh
Bagi wanita sendiri, celana menjadi pilihan yang diambil karena banyak dorongan. Diantaranya seperti telah disebutkan diatas, adalah kebutuhan akan busana praktis dan sporti dalam mensikapi aktivitasnya yang semakin padat. Kalau mau melihat lebih dalam, ini semua berangkat dari seruan emansipasi yang salah-kaprah dalam memahami perbedaan hak laki-laki dan wanita. Pengupayaan penempatan wanita dalam bidang laki-laki, membuahkan kesulitan-kesulitan bagi wanita itu sendiri. kebutuhan untuk membuktikan kemampuan wanita, tak jarang hingga melewati batas ketentuan syariat yang digariskan. Sehingga lahirlah “langkah berani” yang dianggap sebagai alternatif mensikapi masalah tersebut. Dalam hal ini, penggunaan celana bagi seorang wanita, dianggap mampu mengurangi kesulitan-kesulitan yang muncul.

Tashabuh Busana
Sebenarnya, permasalahan mendasar tentang pemakaian celana bagi seorang wanita terletak pada masalah tasyabuh atau menyerupai laki-laki. sebagian ulama menilai, bahwa celana panjang dalam bentuk dan model apapun merupakan milik laki-laki, jadi sudah pasti merupakan bentuk tasyabuh yang dilarang.
Dari ibnu Abbas ra, Rasulullah Muhammad saw bersabda, yang arinya :
“Allah Subhanahu wata’ala melaknat seorang laki-laki yang berdandan menyerupai wanita dan wanita yang berdandan menyerupai laki-laki.”
Lebih spesifik, Rasulullah melarang tasyabuh dalam halk pakaian dalam sebuah hadits yang artinya :
“Allah melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita”

Secara umum, celana panjang yang dipakai dalam masyarakat adalah pakaian khas laki-laki, sehingga jelas penggunaannya bagi perempuan sangat dilarang. Apalagi ketika kita melihat, penggunaan celana oleh seorang wanita lebih pada kebutuhan mode dengan design yang menampakkan lekuk tubuh wanita. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan apa yang telah diperintahkan Allah ta’ala melalui rasulnya. Meski dewasa ini penggunaan celana dikalangan wanita sudah sangat marak, bukan berarti mampu menghilangkan ‘urf-nya sebagai busana laki-laki. Karena itu, penggunaan celana seperti ini merupakan bentuk tasyabuh yang dilarang.

Celana dan pakaian dalam
Ada sebagian ulama yang berpendapat, bahwa penggunaan celana sebagai pakaian dalam guna melindungi wanita dari berbagai resiko adalah boleh. Dengan catatan, bentuknya berbeda dengan celana yang dipakai laki-laki ; mempunyai ukuran yang longgar serta tetap menggunakan pakaian luar sesuai syariat. Banyaknya resiko yang bisa terjadi pada wanita serta melihat kebutuhan yang ada yakni menutup rapat aurat, maka hal ini diperbolehkan. Selain itu, penggunaan celana sebagai pakaian dalam bagi wanita tidak memperlihatkan bentuk celana itu sendiri karena tertutup oleh pakaian luar yang dikenakan. Dari sini, unsur tasyabuh itu menjadi tidak ada. Dengan dasar itulah, banyak ulama yang menfatwakan bahwa seorang wanita boleh memakai celana panjang, asal menjadi semacam pakaian dalam. Penggunaan celana panjang ini harus dirangkap dengan pakaian luar yang memperlihatkan ciri khas sebagai pakaian wanita, dengan ukuran yang longgar (tidak ketat) serta menutupi seluruh tubuh sebagaimana ketentuan pakaian wanita muslimah.

Celana lebar sebagai alternatif
Tak jarang kita menjumpai banyak wanita menggunakan celana panjang dengan ukuran yang besar (kulot) namun tanpa busana luar sebagai tambahan. Mengenai masalah ini, sebagian ulama tidak membolehkan karena bentuk celana masih terlihat dengan jelas.
Namun ada juga beberapa ulama yang membolehkan wanita menggunakan celana dengan ukuran yang besar (kulot) dengan catatan.
Untuk itu, perlu ada kehati-hatian bagi kaum wanita menentukan pilihan dalam berbusana.. Semoga Allah selalu menjaga kita dari tipu daya setan yang terkutuk, amin. Wallahu A’lam Bish-shawab. [el_Sake]

Tidak ada komentar: