29 Januari 2008

BEDAH

Syeikh Siti Jenar Tak Perlu Dibela (2)
Ajarannya Mirip dengan Mansur Al Hallaj

Apakah ada hubungannya Syeikh Siti Jenar dengan Mansur Al Hallaj? Meskipun mirip bukan lantas dua tokoh ini punya hubungan khusus, guru dan murid misalnya. Keduanya justru terpisah dalam kurun waktu yang panjang, jika Al Hallaj lahir pada abad 9 M, Syeikh Siti Jenar berada pada masa Bintoro Demak, sekitar abad ke 16M

Meskipun kedua tokoh ini berbeda dalam beberapa kurun waktu, tetapi jika kita temukan kemiripan ajaran diantara keduanya, bisa jadi karena pengaruh kebesaran Al Hallaj yang sampai juga ke Indonesia, sebab akses-akses keislaman lewat duta-duta (mubaligh) Islam dari negeri Turki, ataupun pergumulan masyarakat muslim Indonesia di kancah pusat dunia Islam, yakni Haramain (Mekkah dan Medinah) ataupun berbagai perantara media informasi saat itu turut menghantarkan Syeikh Siti Jenar juga mengenal Al Hallaj.

Kesamaan Prinsip
Kesamaan dari ajaran keduanya adalah, jika Al Hallaj mengatakan ana al haqq (Akulah Maha Kebenaran) seolah-olah Dia mengatakan dirinya adalah Allah, Al Haqq itu sendiri, maka Syeikh Siti Jenar juga merumuskan sebuah konsep Manunggaling Kawula lan Gusti (menyatunya hamba manusia dengan Allah). Selain itu Syeikh Siti Jenar mengajarkan tentang Al Hulul wal Ittihad, sebuah konsep kesamaan ajaran yang mengajarkan kesamaan antara manusia dengan Allah.
Secara lebih tersirat, para pendukungnya berpendapat bahwa Syeikh Siti Jenar tak pernah mengaku dirinya sebagai Tuhan, Manunggaling Kawula lan Gusti adalah manifestasi sang Pencipta (Al Khaliq) sebagai wadah kembalinya seluruh makhluk ciptaannya, dan dengan kembalinya manusia kepada Allah, manusia menjadi sangat dekat, sedekat urat nadinya.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an, surat Al Baqarah ayat 186 “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku merespon seruan (doa) orang yang berseru, manakala dia berseru kepadaku. Karena itu hendaklah mereka merespon (seruan)Ku, beriman kepadaKu, agar mereka memperoleh petunjuk” Selain itu dalam Manunggaling Kawula lan Gusti, bahwa dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari Tuhan, sebagaimana penafsirannya dalam surat Shad ayat 72 “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya Perbedaan penafsiran ayat Al Qur'an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, seperti yang dipahami selama ini
Menurutnya paham ketauhidan harus melalui 4 tahapan yakni Syariat dengan menjalankan hukum seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. Tarekat dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu. Hakekat dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan. Dan Ma'rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Seorang Salik (penempuh jalan tasawuf) jika ingin menyingkap rahasia Allah, harus melalui berbagai tahapan ini dengan catatan jika Ia telah beranjak pada tahap berikutnya tak boleh sekalipun meninggalkan fase-fase sebelumnya

Pemahaman Baru
Pemahaman seperti ini sangat baru alias tidak pernah ditemukan dalam pola ibadah sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah, hal ini tentu membuat bingung para Ulama, para Ulama sama sekali tidak mengerti tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh syeikh Siti Jenar, selama beratus-ratus tahun Islam datang hingga sampai ke Tanah Jawa, dai-dai ataupun para wali yang lurus tak pernah menyampaikan tasawuf, bahkan setelah mengkaji lebih dalam melalui pendalaman ajaran ini mereka akhirnya menyimpulkan tasawuf sangat membahayakan akidah umat Islam yang saat itu masih awam. Sebab pada masa itu dakwah yang ditampilkan berada pada tahap akidah dan syari’at. Para Ulama mengkhawatirkan adanya kesalah pahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syeikh Siti Jenar dengan penerimaan kaum muslim yang jalan berpikirnya belum sampai kesana. Akhirnya melalui sidang para Walisembilan mereka memutuskan bahwa ajaran Syeikh Siti Jenar dinyatakan sesat.

Meninggalkan Syari’at
Syeikh Siti Jenar memang sosok yang kontroversial, aneh dan selalu melawan arus dalam ‘pakem’ keislaman yang dibawa oleh para wali yang lurus pada waktu itu. Sebagai contoh ajarannya tentang kehidupan dan kematian, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syari’at Islam. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah.
Dan menurut Syeikh Siti Jenar manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan pasca kematian. Pandangan ini jelas-jelas aneh, bagaimana mungkin syari’at berlaku di alam akhirat, bukankah Nabi Muhammad SAW sendiri sebagai rahmat semesta alam, yang semua termaktub didalam Al Qur’an maupun sunnah, mengapa Syeikh Siti Jenar mengatakan syaraiat baru berlaku di akhirat, lantas di dunia kita memakai hukum apa?
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda-beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar. Sebagai umat Islam kita perlu hati-hati dan mewaspadai para penipu agama, wajib bagi umat Islam untuk memiliki keimanan dan ilmu untuk mencapai keyakinannya agar jangan sampai terjerumus ke dalam kesesatan.

Letak Kesesatannya
Jika memang Syeikh Siti Jenar benar-benar mempunyai pola pikir seperti itu berarti Ia telah keluar dari Islam. Lantas dimana letak kesesatannya? Pertama bahwa akidahnya telah melenceng. Ia meyakini manunggaling kawula lan gusti yang setelah ditelaah lebih lanjut adalah filsafat pantheisme yang menyamakan Allah dengan alam atau makhluknya. Kedua Ia membangkang syari’ah, padahal syariat adalah manifestasi dari keimanan seseorang, Nabi SAW bersabda, keimanan adalah meyakini dalam hati (taqdisu bil qalbi) diikrarkan dengan lisan (taqriri bil lisan) dan mengamalkan dengan perbuatan (wal amalu bil arkan) Mengamalkan dengan perbuatan inilah yang dimaksudkan dengan pengejawantahan hukum Allah (syariat Islam) dalam kehidupan kita, jika memang Ia menolaknya, berarti Ia telah keluar dari keimanan kepada Allah. [with_prast]

Tidak ada komentar: