Eropa dan AS tetap buruk dalam melukiskan citra negatif tentang agama Islam, padahal sejarah membuktikan Barat dan Islam telah ‘bermesraan’ dalam peradaban dan sains, tetapi konflik itu sengaja dipelihara sebab ada kecenderungan Islam mulai mendapat tempat di Eropa
Sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research Institute yang belum lama ini melibatkan 14.030 muslim dan non muslim dari 15 negara seperti AS, Cina, India, Indonesia, Jepang, Jerman, Mesir, Nigeria, Pakistan, Prancis, Spanyol, Turki dan sebagainya.
Patut dicatat, hasil temuan itu mengatakan bahwa orang-orang Barat dan Muslim tetap berada dalam prasangka negatif masing-masing Kedua belah pihak umumnya juga menganggap satu sama lain sebagai suka pada kekerasan, tidak toleran, dan kurang menghargai perempuan. Kaum Muslim di Timur Tengah dan Asia juga menganggap orang-orang Barat sebagai immoral dan mementingkan diri sendiri; sementara orang-orang Barat menganggap kaum Muslim sebagai fanatik.
Karena itu, survei juga menemukan, bahwa mayoritas responden menyatakan hubungan Muslim dan Barat sangat jelek. Dan kedua belah pihak saling menyalahkan; responden Muslim menyatakan, pihak Barat bertanggung jawab atas buruknya hubungan kedua belah pihak, sementara pihak Barat menyalahkan kaum Muslim sebagai penyebab buruknya hubungan kedua belah pihak. Dalam wawancara lanjutan, kaum Muslim umumnya memandang sumber buruknya hubungan kedua belah pihak adalah sikap Barat yang terus tidak adil terhadap bangsa Palestina; dan juga karena sikap double standard Barat dan lain-lain.
Survei yang dilakukan oleh Pew Research Institute ini mewakili gambaran dari benturan peradaban yang kerap terjadi antara keduanya (barat dan muslim), opini yang mereka nyatakan di dalam survei tersebut karena pengaruh dari cendekiawan muslim yang belajar di barat yang mempercayai teori-teori barat yang phobi terhadap Islam. Satu contoh saja teori clash civilization dari Samuel Huntington ataupun Orientalismenya Edward W Said, kedua teori itu tumbuh pasca perang salib dan dominasi penjajah kristen (misionaris) terhadap dunia timur. Huntington sendiri dalam Clash of Civilization and the Remaking World Order (1996) menyatakan kalau strategi baru dalam perang salib adalah dengan jalan perang peradaban dan pemikiran. Sedangkan Orientalisme sendiri tumbuh untuk membantu perluasan daerah yang dilakukan oleh penjajah kristen
Di dalam sejarah, perilaku sahabat lebih mencerminkan toleransinya dan sikap perdamaian daripada permusuhan kepada agama lain. Khalifah Umar bin Khattab misalnya sewaktu menerima penyerahan kota Yerusalem dari pengaruh Romawi ke tangan umat Islam bersama panglima perangnya berkunjung ke bukit Zion, tibalah waktunya shalat Zuhur. Uskup Agung Sophranius menawarkan gereja yang terpandang suci oleh dunia Kristen, untuk shahabat Umar dan pengiringnya..Tawaran yang ramah itu disambut sangat baik oleh Khalifah Umar. “Sungguh senang menerima tawaran Tuan. Tetapi kalau shalat disitu, saya khawatir bahwa suatu hari kelak orang Islam akan merampas gereja Tuan guna dijadikan masjid. Karena itu saya shalat disisi gereja Tuan saja” Setelah mengucapkan kata-kata ini Umar kemudian membentangkan sorbannya dan menunaikan shalat Zuhur disisi gereja itu, sambil tak lupa meminta izin kepada uskup Agung. Bandingkan dengan sikap Kristen yang selalu menunjukkan permusuhan di dalam perang salib dari berbagai kurun waktu. Sebagaimana ucapan Gladstone, mantan PM Inggris, penganut gereja Anglikan yang berbicara di depan ratusan parlemen Inggris kala itu"Percuma memerangi ummat Islam, dan tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam masih bertengger al-Qur'an. Tugas kita adalah mencabut al-Qur'an di hati mereka. Dan kita akan menang menguasai mereka," ucapnya. Ucapan Gladstone itu kemudian menjadi rekomendasi penting Kerajaan Inggris tentang bagaimana kiat menundukkan negeri-negeri Islam di wilayah jajahannya. (wiwid prasetyo)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar