24 Januari 2008

Istri-Istri Pejuang Muslim

Perannya di belakang layar tak pernah ter-ekspose ataupun ditampilkan dalam buku-buku sejarah, tetapi sama seperti laki-laki, sebetulnya mereka punya peran yang tidak sedikit. Tak hanya mendampingi suami dalam perjuangannya, tetapi mereka juga menentukan sendiri corak perjuangannya

Jika dihitung dengan jari, tak sampai sepuluh kita sudah kesulitan untuk menyebut pejuang wanita itu satu persatu, ini tak lain karena dominasi patriarkhi dalam budaya kita, tetapi jika kita menelisik lebih jauh, sejarah perjuangan mereka tak kalah dengan laki-laki Umumnya mereka bergerak di organisasi. Tahun 1912 berdiri Organisasi Perempuan Poetri Mardika. Ada juga Pawiyatan Wanito di Magelang tahun 1915, Aisyiah di Yogyakarta tahun 1917, Percintaan Ibu kepada Anak Temurun (PIKAT) di Manado tahun 1917, Wanito Hadi di Jepara tahun 1919, Poeteri Boedi Sedjati di Surabaya tahun 1919, Serikat Kaoem Iboe Soematra di Bukit Tinggi tahun 1920.

Ny Ahmad Dahlan
Di antara para aktivis perempuan itu, Nyai Ahmad Dahlan (1872-1946) adalah salah satu aktivis Islam yang menonjol. Ia dari organisasi Aisyiah. Sebelum organisasi perempuan Muhammadiyah ini terbentuk tahun 1917, Nyai Dahlan, sapaan akrabnya, bergiat untuk memberdayakan perempuan sejak tahun 1914. Kala itu, istri pendiri ormas Muhammadiyah ini membangun perkumpulan Sopo Tresno (siapa suka), khusus untuk perempuan. Baru pada tahun 1917, nama perkumpulan itu, berubah menjadi Aisyiah.
Menurut Nyai Dahlan, perempuan adalah patner kaum lelaki. Mereka sendirilah yang harus menentukan dan mempertanggungjawabkan hidupnya di hadapan Allah kelak, bukan malah ngekor kepada kaum lelaki. Metode pemberdayaan yang dilakukan adalah melalui forum-forum pengajian.

Ny Rasuna Said
Selain Ny Ahmad Dahlan, tercatat pula Ny Rasuna Said Ia dijuluki ‘singa betina’ karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda. Juga, tercatat sebagai wanita pertama yang terkena speek delict, hukum Kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun bisa ditangkap karena omongan yang merugikan pemerintah. Rasuna juga berguru pada Haji Rasul alias H. Abdul Karim Amrullah, ulama terkemuka di Minangkabau. Di sinilah ia memahami pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berfikir.
Tidak hanya dengan orasi mulut, ia juga berjuang dengan pena. Tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi majalah Raya. Dalam waktu singkat, tulisan-tulisannya mampu mengobarkan obor pergerakan dan api perlawanan rakyat Minangkabau terhadap penjajah. Ia juga menerbitkan majalah Menara Putri, yang khusus membahas seputar kewanitaan dan keislaman.

Ny Sholihah Wahid
Perempuan dalam kultur pesantren juga tak mau kalah. Sholihah A. Wahid Hasyim adalah salah satunya. Ia adalah ibu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ia hidup dalam lingkungan pesantren di Jombang, sebagai menantu Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (1926). Ia juga putri Bisri Syamsuri, pemangku salah satu pesantren di Jombang, Jawa Timur. Sholihah ingin mendobrak tradisi perempuan-perempuan pesantren yang apatis dengan politik dan dunia luar. Dan juga menepis stigma-stigma miring seputar peran perempuan pesantren. Sepeninggal suaminya, tahun 1953, ia kian aktif di berbagai organisasi. Antara lain, menjadi pengurus Nahdlatul Oelama Muslimat (NOM), kini Muslimat NU.

1 komentar:

Grass Hoper mengatakan...

Ny Rasuna Said ini memang sangat keren sekali, banyak pandangan-pandangan beliau ini sudah lebih maju dari zamannya. Mudah-mudahan bangsa kita memiliki lebih banyak lagi wanita-wanita seperti mereka.