Indonesia, Surga Para Perokok
Rokok, konon menjadi tulang punggung perekonomian nasional, pendapatan negara yang besar diperoleh dari rokok. Bahkan pemerintah seakan menutup mata dengan bahaya yang ditimbulkannya, pemerintah hanya menghimbau dalam bandrol rokok tentang bahaya merokok, tetapi tidak menolak devisa yang berasal dari rokok
Rokok sudah menjadi bagian dari gaya hidup, bagian dari roda nasib ekonomi yang sangat menentukan. Konon tanpa rokok ribuah buruh akan terancam PHK dan sebagian lagi jejaring ekses dari mereka yang menggantungkan hidup dari rokok akan turut menjadi korban. Insan periklanan, olahragawan, band-band papan atas yang kerap manggung karena disponsori oleh pabrik rokok, event organizer dan sebagainya, akan terkena dampak langsung seandainya pabrik rokok gulung tikar.
Perkembangan rokok ini tak hanya terjadi di negeri yang sudah makmur saja, tetapi di negara miskin seperti Indonesiapun konsumsi rokok telah mencapai angka yang mengkhawatirkan Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Sarimun Hadisaputro, mengungkapkan, biaya yang dikeluarkan oleh keluarga miskin Indonesia untuk belanja rokok mencapai Rp 23 triliun per tahun. Diperkirakan 19 juta keluarga miskin Indonesia mengonsumsi rokok sehingga jumlah biaya yang dikeluarkan sangat fantastis, setara dengan harga 5,8 juta ton beras dan lebih tinggi dari subsidi BBM untuk mereka.
Devisa Tinggi
Masyarakat miskin menyia-nyiakan dana Rp 23 triliun pertahun untuk sesuatu yang bukan hanya sia-sia melainkan buruk bagi mereka. Dan yang buruk itu malah lebih diutamakan daripada hal yang baik dan perlu seperti gizi, pendidikan, atau kesehatan bagi keluarga mereka. Lihatlah di sekeliling kita, banyak sekali orang yang mendahulukan rokok daripada susu, buah-buahan, atau buku untuk anak-anak mereka.
Bahkan pemerintah membiarkan para kapitalis industri rokok menggoda masyarakat dengan iklan yang luar biasa gencar dan dahsyat. Kayaknya pemerintah tak peduli atas para korban iklan ini, yakni puluhan juta anak muda yang menjadi lemah secara fisik dan didekatkan kepada narkoba. Juga puluhan juta orang-orang miskin yang jatuh menjadi lebih miskin lagi. Meskipun Lembaga Konsumen Indonesia dengan kekuatan tak seberapa berhasil mendesakkan peringatan bahaya merokok. Sayangnya peringatan itu menjadi semacam ironi, karena, meski tertulis pada setiap bungkus rokok, juga pada setiap iklannya, kekuatan peringatan itu seakan sirna oleh mitos kenikmatan merokok.
Dan, rezim rokok terus berjaya. Pemerintah boleh dibilang sama sekali tidak berniat mengendalikan kekuatan yang jelas-jelas merusak itu. Sebabnya, seperti pernah dikatakan dulu oleh Prof Sumitro Djojohadikusumo, industri rokok masih sangat penting bagi perekonomian Indonesia dan pendapatan negara. Dari sisi pandang ekonomi semata, Pak Mitro memang benar. Data tahun 2006 menunjukkan pendapatan APBD di seluruh Indonesia industri rokok mencapai Rp 83 triliun. Selain itu ribuan petani tembakau dan puluhan ribu pekerja industri rokok ikut menggantumg hidup dari dari bisnis nikotin ini. Benarkah ketiadaan rokok bisa mengganggu stabilitas perekonomian nasional, juga ketiadaan rokok mengakibatkan lumpuhnya sendi-sendi kehidupan yang kita sangat bergantung pada rokok?
Mitos dan Fakta
Dari situs South East Asia Tobacco Control Alliance menginformasikan tentang mitos dan fakta rokok terhadap ekonomi. Para pelaku industri rokok mengatakan rokok memberikan kontribusi yang besar terhadap kontribusi devisa bagi Negara, kenyataannya Negara membayar biaya lebih besar untuk rokok dibanding dengan pemasukan yang diterimanya dari industri rokok. Penelitian dari World Bank telah membuktikan bahwa rokok merupakan kerugian mutlak bagi hampir seluruh negara. Pemasukan yang diterima negara dari industri rokok (pajak dan sebagainya) mungkin saja berjumlah besar, tapi kerugian langsung dan tidak langsung yang disebabkan konsumsi rokok jauh lebih besar. Biaya tinggi harus dikeluarkan untuk membayar biaya penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh rokok, absen dari bekerja, hilangnya produktifitas dan pemasukan, kematian prematur, dan juga membuat orang menjadi miskin lebih lama karena mereka menghabiskan uangnya untuk membeli rokok, termasuk berkurangnya kualitas hidup perokok perokok pasif yang bisa terkena penyakit dari perokok aktiflah salah satu penyebabnya.
Selain itu para pelaku industri rokok sengaja mengkampanyekan dampak stabilitas ekonomi nasional jika peraturan rokok diperketat sehingga mengakibatkan hilangnya pekerjaam di tingkat petani tembakau dan industri rokok Para ekonom independent yang sudah mempelajari klaim industri rokok, berkesimpulan bahwa industri rokok sangat membesar-besarkan potensi kehilangan pekerjaan dari pengaturan rokok yang lebih ketat. Di banyak negara produksi rokok hanyalah bagian kecil dari ekonomi mereka. Penelitian yang dilakukan oleh World Bank mendemonstrasikan bahwa pada umumnya negara tidak akan mendapatkan pengangguran baru bila konsumsi rokok dikurangi. Beberapa negara malah akan memperoleh keuntungan baru karena konsumen rokok akan mengalokasikan uangnya untuk membeli barang dan jasa lainnya. Hal ini tentunya akan membuka kesempatan untuk terciptanya lapangan kerja baru.
Menaikkan Pajak Rokok
Salah satu jalan untuk mengurangi jumlah perokok adalah memberikan cukai yang tinggi kepada industri rokok, cukai yang tinggi sebagai salah satu cara untuk mendongkrak pendapatan negara sekaligus mengurangi jumlah konsumen perokok. Diharapkan dengan harga rokok yang tinggi konsumen tak mampu beli. Para peneliti menghitung, kenaikan 10 persen dari harga rokok akan mengurangi empat persen jumlah perokok di negara maju dan delapan persen perokok di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tentu saja adanya kebijakan seperti ini yang pertama berhenti merokok adalah penduduk berpenghasilan rendah. Demikian pula perokok anak dan remaja.Secara keseluruhan akan ada 40 juta orang di seluruh dunia yang berhenti merokok. Hal itu mencegah 10 juta kematian dini. Sembilan juta di antaranya di negara berkembang. Menurut Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Rentan Dr dr Anhari Achadi MPH saat ini cukai rokok di Indonesia bervariasi antara enam sampai 40 persen, tergantung jenis rokok dan besar kecilnya industri rokok.
Bahaya Merokok
Soal bahaya rokok, hampir tak ada orang yang tak tahu. Tapi hal itu tak menyurutkan niat orang untuk merokok. Selain faktor budaya, juga akibat ilusi tentang kegagahan, kecantikan, atau kemodernan yang disodorkan iklan rokok.Data WHO menunjukkan, rokok menyebabkan 3,5 juta kematian tiap tahun atau 10.000 kematian per hari. Bank Dunia memperkirakan, dengan pola merokok saat ini, 500 juta orang terancam nyawanya. Lebih dari setengahnya adalah anak-anak dan remaja. Kalau saat ini epidemi penyakit kronis dan kematian dini masih terjadi di negara maju, dengan peningkatan jumlah perokok di negara berkembang, tahun 2020 situasi akan terbalik. Tujuh dari 10 orang yang mati akibat rokok akan terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tahun 2030 akan terjadi 10 juta kematian per tahun akibat rokok. (withpras)
Rokok, konon menjadi tulang punggung perekonomian nasional, pendapatan negara yang besar diperoleh dari rokok. Bahkan pemerintah seakan menutup mata dengan bahaya yang ditimbulkannya, pemerintah hanya menghimbau dalam bandrol rokok tentang bahaya merokok, tetapi tidak menolak devisa yang berasal dari rokok
Rokok sudah menjadi bagian dari gaya hidup, bagian dari roda nasib ekonomi yang sangat menentukan. Konon tanpa rokok ribuah buruh akan terancam PHK dan sebagian lagi jejaring ekses dari mereka yang menggantungkan hidup dari rokok akan turut menjadi korban. Insan periklanan, olahragawan, band-band papan atas yang kerap manggung karena disponsori oleh pabrik rokok, event organizer dan sebagainya, akan terkena dampak langsung seandainya pabrik rokok gulung tikar.
Perkembangan rokok ini tak hanya terjadi di negeri yang sudah makmur saja, tetapi di negara miskin seperti Indonesiapun konsumsi rokok telah mencapai angka yang mengkhawatirkan Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi), Sarimun Hadisaputro, mengungkapkan, biaya yang dikeluarkan oleh keluarga miskin Indonesia untuk belanja rokok mencapai Rp 23 triliun per tahun. Diperkirakan 19 juta keluarga miskin Indonesia mengonsumsi rokok sehingga jumlah biaya yang dikeluarkan sangat fantastis, setara dengan harga 5,8 juta ton beras dan lebih tinggi dari subsidi BBM untuk mereka.
Devisa Tinggi
Masyarakat miskin menyia-nyiakan dana Rp 23 triliun pertahun untuk sesuatu yang bukan hanya sia-sia melainkan buruk bagi mereka. Dan yang buruk itu malah lebih diutamakan daripada hal yang baik dan perlu seperti gizi, pendidikan, atau kesehatan bagi keluarga mereka. Lihatlah di sekeliling kita, banyak sekali orang yang mendahulukan rokok daripada susu, buah-buahan, atau buku untuk anak-anak mereka.
Bahkan pemerintah membiarkan para kapitalis industri rokok menggoda masyarakat dengan iklan yang luar biasa gencar dan dahsyat. Kayaknya pemerintah tak peduli atas para korban iklan ini, yakni puluhan juta anak muda yang menjadi lemah secara fisik dan didekatkan kepada narkoba. Juga puluhan juta orang-orang miskin yang jatuh menjadi lebih miskin lagi. Meskipun Lembaga Konsumen Indonesia dengan kekuatan tak seberapa berhasil mendesakkan peringatan bahaya merokok. Sayangnya peringatan itu menjadi semacam ironi, karena, meski tertulis pada setiap bungkus rokok, juga pada setiap iklannya, kekuatan peringatan itu seakan sirna oleh mitos kenikmatan merokok.
Dan, rezim rokok terus berjaya. Pemerintah boleh dibilang sama sekali tidak berniat mengendalikan kekuatan yang jelas-jelas merusak itu. Sebabnya, seperti pernah dikatakan dulu oleh Prof Sumitro Djojohadikusumo, industri rokok masih sangat penting bagi perekonomian Indonesia dan pendapatan negara. Dari sisi pandang ekonomi semata, Pak Mitro memang benar. Data tahun 2006 menunjukkan pendapatan APBD di seluruh Indonesia industri rokok mencapai Rp 83 triliun. Selain itu ribuan petani tembakau dan puluhan ribu pekerja industri rokok ikut menggantumg hidup dari dari bisnis nikotin ini. Benarkah ketiadaan rokok bisa mengganggu stabilitas perekonomian nasional, juga ketiadaan rokok mengakibatkan lumpuhnya sendi-sendi kehidupan yang kita sangat bergantung pada rokok?
Mitos dan Fakta
Dari situs South East Asia Tobacco Control Alliance menginformasikan tentang mitos dan fakta rokok terhadap ekonomi. Para pelaku industri rokok mengatakan rokok memberikan kontribusi yang besar terhadap kontribusi devisa bagi Negara, kenyataannya Negara membayar biaya lebih besar untuk rokok dibanding dengan pemasukan yang diterimanya dari industri rokok. Penelitian dari World Bank telah membuktikan bahwa rokok merupakan kerugian mutlak bagi hampir seluruh negara. Pemasukan yang diterima negara dari industri rokok (pajak dan sebagainya) mungkin saja berjumlah besar, tapi kerugian langsung dan tidak langsung yang disebabkan konsumsi rokok jauh lebih besar. Biaya tinggi harus dikeluarkan untuk membayar biaya penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh rokok, absen dari bekerja, hilangnya produktifitas dan pemasukan, kematian prematur, dan juga membuat orang menjadi miskin lebih lama karena mereka menghabiskan uangnya untuk membeli rokok, termasuk berkurangnya kualitas hidup perokok perokok pasif yang bisa terkena penyakit dari perokok aktiflah salah satu penyebabnya.
Selain itu para pelaku industri rokok sengaja mengkampanyekan dampak stabilitas ekonomi nasional jika peraturan rokok diperketat sehingga mengakibatkan hilangnya pekerjaam di tingkat petani tembakau dan industri rokok Para ekonom independent yang sudah mempelajari klaim industri rokok, berkesimpulan bahwa industri rokok sangat membesar-besarkan potensi kehilangan pekerjaan dari pengaturan rokok yang lebih ketat. Di banyak negara produksi rokok hanyalah bagian kecil dari ekonomi mereka. Penelitian yang dilakukan oleh World Bank mendemonstrasikan bahwa pada umumnya negara tidak akan mendapatkan pengangguran baru bila konsumsi rokok dikurangi. Beberapa negara malah akan memperoleh keuntungan baru karena konsumen rokok akan mengalokasikan uangnya untuk membeli barang dan jasa lainnya. Hal ini tentunya akan membuka kesempatan untuk terciptanya lapangan kerja baru.
Menaikkan Pajak Rokok
Salah satu jalan untuk mengurangi jumlah perokok adalah memberikan cukai yang tinggi kepada industri rokok, cukai yang tinggi sebagai salah satu cara untuk mendongkrak pendapatan negara sekaligus mengurangi jumlah konsumen perokok. Diharapkan dengan harga rokok yang tinggi konsumen tak mampu beli. Para peneliti menghitung, kenaikan 10 persen dari harga rokok akan mengurangi empat persen jumlah perokok di negara maju dan delapan persen perokok di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tentu saja adanya kebijakan seperti ini yang pertama berhenti merokok adalah penduduk berpenghasilan rendah. Demikian pula perokok anak dan remaja.Secara keseluruhan akan ada 40 juta orang di seluruh dunia yang berhenti merokok. Hal itu mencegah 10 juta kematian dini. Sembilan juta di antaranya di negara berkembang. Menurut Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat Rentan Dr dr Anhari Achadi MPH saat ini cukai rokok di Indonesia bervariasi antara enam sampai 40 persen, tergantung jenis rokok dan besar kecilnya industri rokok.
Bahaya Merokok
Soal bahaya rokok, hampir tak ada orang yang tak tahu. Tapi hal itu tak menyurutkan niat orang untuk merokok. Selain faktor budaya, juga akibat ilusi tentang kegagahan, kecantikan, atau kemodernan yang disodorkan iklan rokok.Data WHO menunjukkan, rokok menyebabkan 3,5 juta kematian tiap tahun atau 10.000 kematian per hari. Bank Dunia memperkirakan, dengan pola merokok saat ini, 500 juta orang terancam nyawanya. Lebih dari setengahnya adalah anak-anak dan remaja. Kalau saat ini epidemi penyakit kronis dan kematian dini masih terjadi di negara maju, dengan peningkatan jumlah perokok di negara berkembang, tahun 2020 situasi akan terbalik. Tujuh dari 10 orang yang mati akibat rokok akan terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Tahun 2030 akan terjadi 10 juta kematian per tahun akibat rokok. (withpras)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar