29 Januari 2008

Mitos

Simbolisasi Keyakinan Yang Tidak Berdasar

Ada harapan besar dari setiap hal yang dilakukan oleh orang tua demi menyambut kelahiran buah hatinya. Namun seringkali hal itu justru mengarah pada kesesatan-kesesatan yang jelas-jelas dibenci oleh Allah Ta’ala. Diperlukan ketelitian dalam memilah dan memilih mana yang tepat untuk dilakukan dengan bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Anak adalah anugrah yang diberikan Allah, sebagai satu amanah yang harus dijalankan dengan baik. Kehadiran anak bagi orang tua, terlebih anak pertama mampu membawa kenambah keharmonisan hubungan dalam keluarga. Untuk itu, orang tua seringkali melakukan berbagai upaya agar anak yang dilahirkan memperoleh kemudahan baik dari proses kelahiran hingga pada kulitas fisik ataupun mental sang anak. Tidak jarang, upaya yang dilakukan oleh terkesan “asal manut” pada orang-orang yang dianggap lebih tua atau lebih pandai, tanpa memahami lebih dalam makna dan tujuan upaya tersebut.
Kehadiran anak yang masih dalam kandungan (bayi) menjadi perhatian khusus bagi calon orang tua. Dari segi kesehatan, calon ibu senantiasa dengan sabar memeriksakan kandungannya ke dokter secara periodik agar kesehatan bayi terjaga. Tidak cukup disitu, berbagai rangkaian upara pada bulan-bulan tertentu pun disiapkan demi keyakinan membawa pengaruh positif bagi sang bayi yang masih dalam kandungan itu.
Di jawa, proses kehamilan mendapat perhatian tersendiri bagi masyarakat setempat. Harapan-harapan muncul terhadap bayi dalam kandungan, agar mampu menjadi generasi yang handal dikemudian hari. Untuk itu, dilaksanakan beberapa tradisi yang dirasa mampu mewujudkan keinginan mereka terhadap anak tersebut. Diantara tradisi tersebut adalah upacara mitoni. Mitoni sendiri berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Ini dimaksudkan bahwa mitoni adalah ritual yang dilaksanakan pada saat bayi menginjak usia tujuh bulan dalam kandungan. Ada keyakinan bahwa upacara ini berpengaruh terhadap keselamatan bagi sang ibu dan anak yang ada dalam kandungan. Secara umum, tradisi mitoni ini terdiri atas beberapa tahapan, diantaranya upacara siraman. Tahap ini dimaksudkan sebagai simbol pembersihan atas segala kejahatan dari bapak dan ibu bayi. Setelah siraman, ritual kemudian dilanjutkan dengan memasukkan telor ayam kampung ke dalam kain calon ibu oleh sang suami. Masyarakat setempat meyakini bahwa hal itu merupakan perwujudan harapan agar proses kelahiran sang bayi dapat berjalan dengan lancar tanpa halangan apapun. Acara kemudian dilanjutkan dengan memasukkan kelapa gading muda dari perut atas sang ibu hingga kebawah dengan maksud untuk menghindari rintangan saat kelahiran sang bayi nantinya. Selain itu, dalam proses ritual mitoni ini terdapat pula proses ganti baju. Sang ibu akan berganti pakaian dalam tujuh motif, kemudian para tamu diminta untuk memilih salah satu dari tujuh kain tersebut yang cocok untuk sang ibu. Lalu, prosesi berlanjut ke pemutusan lawe/ lilitan benang atau janur oleh sang ayah. Tujuannya juga sama, agar proses kelahiran nanti berjalan lancar. Dalam upacara mitoni inipun terdapat acara pemecahan gayung atau periuk, dengan maksud ketika nanti sang ibu mengandung kembali tidak menemukan kendala yang berarti. Setelah itu, sang ibu diminta untuk meminum jamu sebagai sorongan/ dorongan dengan maksud agar bayi mampu keluar dengan cepat dan lancar seperti didorong dari dalam. Setelah semua prosesi tersebut berjalan, acara mitoni kemudian ditutup dengan proses mencuri telor. Seorang bapak berharap proses kelahiran sang anak mampu berjalan cepat sebagaimana kecepatan pencuri ketika beraksi.
Mitoni tidak bisa dilakukan pada hari-hari biasa. Dibutuhkan tanggal dan hari yang bagus menurut perhitungan jawa agar tak ada halangan yang menimpa nantinya. Tidak hanya itu, prosesi ini juga membutuhkan tempat khusus dalam melaksanakannya. Umumya, acara mitoni dilakukan pada siang atau sore hari di pasren atau tempat bagi para petani memuja dewi Sri. Namun karena saat ini sulit menemukan tempat tersebut, maka pelaksanaan mitoni dapat dilakukan di ruang tengah atau ruang keluarga yang cukup untuk menampung kehadiran tamu.

Harapan berbuah dosa
Malihat prosesi dan keyakinan diatas, para ulama memberi perhatian serius terhadap masalah ini. Bila mitoni itu diyakini dan atau dikaitkan dengan agama, sehingga menyebabkan ketakutan jika tidak melaksanakannya, maka hal ini jelas menyimpang dari syariat islam. Karena Allah tidak mensyariatkan hal tersebut sehingga akan mengarah pada upaya muhdatsatul umur atau menambahi agama dan tergolong bid’ah yang sesat.
Akan tetapi, jika acara ini tidak diyakini sebagai bagian dari ibadah maka para ulama mempunyai pendapat yang berbeda. Sebagian ulama melarang jenis ritual seperti ini, karena tidak ada syariat yang mendasarinya. Tujuannya tak lain untuk membendung rusaknya agama dari munculnya bid’ah yang jelas-jelas dilarang agama. Karena bagaimanapun, Islam telah disempurnakan bagi umat manusia sebagai jalan yang lurus menuju ridho Allah Ta’ala. Dari situ dapat diambil kesimpulan, bahwa harapan yang terkandung dalam prosesi mitoni mampu dicapai dengan ibadah yang telah ditetapkan dalam syariat. Jika dilihat lebih dalam, pelaksanaan mitoni ini syarat dengan keyakinan-keyakinan yang mengarah pada terbentuknya penyandaran diri selain kepada Allah. Ini dapat dilihat dari penentuan hari dalam pelaksanaannya, proses siraman untuk menghilangkan kejahatan hingga simbol mencuri telor demi cepatnya proses kelahiran. Keyakinan-keyakinan ini jelas tidak berdasar, sehingga mampu menyeret pelakunya pada lembah syirik yang jelas-jelas dibenci oleh Allah.
Meski begitu, terdapat pula beberapa ulama yang memandang bahwa tidak semua bentuk aktivitas budaya masyarakat itu harus ditinggalkan, selama tidak mengandung unsur syirik, dosa, mudharat dan bertentangan dengan agama. Sehingga, jika pelaksanaan mitoni ini mampu menghindari unsur-unsur diatas, maka hal itu tidak dilarang.

Islam Hadir Dengan Kesempurnaan Bagi UmatSemua kembali kepada dasar yang ada untuk menentukan hukum tentang masalah mitoni ini. Alasan yang melandasi sebagian ulama dalam melarang ritual ini sangat jelas, terlebih jika terjadi benturan-benturan terhadap aturan syariat dalam prosesinya. Namun begitu, juga terdapat ulama yang memperbolehkan pelaksanaan ritual mitoni, dengan catatan menghindari unsur-unsur yang dilarang agama. Hanya saja, jika meninjau pelaksanaan mitoni yang telah berlaku, maka sangat jelas unsur-unsur yang mengarah pada kesyirikan di dalamnya.

Tidak ada komentar: