Catatan Konvensi Perubahan Iklim di Nusa Dua Bali
Roadmap Arogansi AS dan Negara-Negara Maju
Ketika dunia berada dalam kerusakan yang amat nyata, negara-negara yang masih berpaling pada hati nurani akan memikirkan cara terbaik untuk menyelesaikannya, hal itulah yang mendasari disahkannya Protokol Kyoto yang telah disepakati oleh berbagai negara di belahan dunia, hanya saja niat mulia ini dikebiri oleh sikap AS dan Australia yang menolak ratifikasi Protokol Kyoto, padahal kedua negara adidaya itu penyumbang emisi terbesar di dunia
Dunia boleh marah, tetapi AS akan terus melenggang seenaknya sendiri di tengah negara-negara lain yang terus menentangnya. Konvensi tentang perubahan Iklim di Nusa Dua Bali 3-14 Desember 2007 menyisakan sebuah pertanyaan, akankah arogansi AS akan berhenti seiring dengan memburuknya lingkungan dunia akibat pemanasan global? Meskipun di akhir konvensi perubahan iklim UNFCCC (United Nation Framework Convention Climate Change) Nusa Dua Bali diakhiri dengan melunaknya sikap AS, tetapi agaknya kita patut menjadi saksi bagaimana kengototan AS itu menjadi bumerang bagi dirinya, yakni mengamuknya badai topan Katrina di Colorado dan terbakarnya hutan di California.
AS meninggalkan ‘belang’ berupa arogansi setelah Ia ngotot meratifikasi protokol Kyoto, padahal mereka adalah penyumbang emisi terbesar di bumi. Sekedar catatan saja, hasil penelitian dari EPA (Environmental Protection Agency) menyebutkan bahwa AS adalah produsen terbesar dari efek rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global, AS menyumbang 25 persen dari total emisi dunia. Menurut EPA penyebab utama dari pemanasan global karena energi listri sebesar 33 persen, transportasi (kendaraan bermotor dan kelautan 26,8 persen, Industri, 18,8 persen, pertanian 7,6 persen, rumah tangga 7,6 persen, komersial 4,7 persen
Menurut data UNFCCC, sampai Juni 2007, Protokol Kyoto telah ditanda tangani oleh 172 negara, sampai detik itu pula AS dan Australia belum mau meratifikasi Protokol Kyoto, padahal kedua negara tersebut adalah pihak dalam COP (Conference on Parties), atau negara wajib lapor terkait dengan emisi gas buangnya yang membuat lapisan ozon semakin rusak, untuk itu adalah aneh jika negara-negara dengan penyumbang emisi terbesar itu justru menolak Protokol Kyoto.
Penolakan Ratifikasi
Sepanjang sejarah hanya George Bush (senior) saja yang telah meratifikasi UNFCCC, pada November 1998, Al Gore, wakil presiden AS secara simbolis menanda tangani Protokol Kyoto, tetapi mereka tak pernah membawa kebjakan itu ke senat AS (semacam wakil rakyat) sehingga tak ada kepastian negara-negara bagian AS akan tunduk menaati Protokol Kyoto, karena penandatanganan itu hanya simbolis, maka prakteknya di lapangan pun tetap liar, mereka tetap seenaknya sendiri membuang emisi gas ke atmosfer, industri-industri AS yang berkembang pesat mengarahkan cerobong-cerobong asapnya ke atas langit biru
Pada masa pemerintahan Bill Clinton, Ia tak pernah membawa masalah itu ke kongres guna diratifikasi. Hampir senada dengan George Bush (junior) yang tidak berniat untuk meratifikasi dengan alasan adanya hak-hak istimewa dari beberapa negara seperti Cina sebagai penyumbang emisi terbesar kedua dan India yang mendapat perlakuan khusus berupa tidak adanya kewajiban untuk menurunkan emisinya.
Kritik tajam tak hanya dilakukan oleh negara-negara yang membenci AS, tetapi juga dari negara-negara bagiannya. Sampai Januari 2007 delapan negara bagian timur laut AS berpartisipasi dalam Prakarsa Regional Gas-Gas Rumah Kaca untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca. Rupa-rupanya mereka telah membelot dari kebijakan Gedung Putih di Washington DC, yang menolak meratifikasi Protokol Kyoto. Di negara bagian California misalnya, sampai Agustus 2006, California mengeluarkan undang-undang pengurangan emisi sebesar 25 persen pada tahun 2020. California berada di peringkat 12 terbesar dunia penyumbang emisi gas rumah kaca. Sampai Maret 2007, 418 kota di 50 negara bagian AS, mewakili lebih dari 60 juta penduduk AS, mendukung Protokol Kyoto.
Tak hanya negara bagian yang menolak, tetapi juga korporasi-korporasi dan perusahaan-perusahaan swasta dalam negeri AS banyak yang menentang kebijakan pemerintah AS yang diktator. Beberapa perusahaan industri yang masih bersekutu dengan AS semakin ditinggalkan oleh perusahaan lainnya, seperti Ford, Texaco, Daimler Chrysler, General Motor, dan Southern Company, sebab mereka ngotot untuk mendukung langkah pemerintah AS yang kebablasan.
Sementara itu Australia menandatangani Protokol Kyoto pada 29 April 1998, tetapi menolak meratifikasinya. Negeri tersebut merupakan penyumbang emisi gas-gas rumah kaca terbesar per kapita karena ketergantungannya pada batu bara untuk tenaga listrik. Perdana Menteri Australia John Howard menolak Protokol Kyoto karena akan memengaruhi lapangan kerja di Australia. Alasan lainnya mirip dengan Bush, yakni karena negara-negara berkembang, seperti China dan India, yang jumlah penduduknya terbesar di dunia dan mengalami booming ekonomi, tidak diwajibkan untuk menurunkan emisi gas-gas rumah kacanya.
Tuduhan AS
Masalah keselamatan lingkungan dunia ini ternyata menjadi persoalan pelik ketika negara-negara maju hendak memaksakan kepentingannya dan cenderung mengkambing hitamkan negara-negara berkembang, mereka menuduh negara seperti Indonesialah yang banyak merusak lingkungan karena pencemaran dari asap kendaraan bermotor, juga penggundulan hutan yang begitu cepatnya. Guiness Book Of Record yang memasukkan Indonesia sebagai pencatat rekord penyebab emisi karbon.
Seharusnya jika mau fairplay tidak layak bagi negara maju untuk menuduh negara berkembanglah penyebab kerusakan lingkungan, negara Industri seperti AS justru penyumbang emisi terbesar di dunia, namun mereka tidak mengakuinya dan menuduh negara-negara berkembanglah penyebab semua ini. Namun melalui UNFCCC, banyak hal baik yang bisa dipetik antara lain, Indonesia yang mempunyai keluasan hutan ketiga setelah Brasil dan Congo mendapatkan bantuan dalam rangka mengatasi pemanasan global, hutan Indonesia akan dilestarikan agar dapat menyerap emisi gas di udara demi terwujudnya lingkungan dunia yang sehat dan sejahtera.
Lantas hikmah apa yang bisa dipetik dari peristiwa ini? Bagaimanapun juga para perusak lingkungan adalah orang-orang kafir, dan itu semua sudah dijelaskan dalam ayatnya. Kita tak perlu heran dengan sikap mereka, karena semua gambaran sudah tersirat jelas dalam Al Qur’an, orang-orang kafir selalu berdalih kalau Ia akan memelihara lingkungan, tetapi justru terbukti mereka merusak lingkungan. Lihatlah awal surat Al Baqarah ayat 11-12, karakter orang-orang kafir yang sudah menjadi tabiatnya untuk merusak lingkungan(with pras)
Pemanasan Global dan Efek Rumah Kaca
“Telah terjadi kerusakan didarat dan dilaut karena ulah manusia, (sebagian akibat buruk ditanggulangi Allah dan sebagian lagi dibiar-kan terjadi) agar manusia tahu dan merasakan akibat buruk tsb lalu kembali (tidak merusak lingkungan lagi)” (Ar Rum ayat 41)
Bayangkanlah bumi dan atmosfernya adalah bola yang terbungkus dengan kaca yang tertutup rapat. Kaca itu sebagai pelindung juga penyaring dari radiasi sinar matahari yang bisa masuk tanpa penghalang. Atmosfer atau kaca itu untuk menjaga suhu bumi agar tetap hangat juga melindungi bumi dari tabrakan benda-benda langit yang jatuh ke bumi.
Tetapi karena ulah manusia juga, zat-zat berbahaya yang dalam lapisan atmosfer yang ada di atas sana mengakibatkan kebocoran akibat berlebihannya manusia dalam mengeksploitasi lingkungan. Yakni berlebihan untuk terus memproduksi emisi-emisi gas yang terdiri dari Karbon Dioksida, Karbon Monoksida, Metana, Sulfur Heksafluorida, Nitrous Oksida. Sementara itu kontrol yang dilakukan oleh hutan untuk menyerap karbon dioksida oleh manusia justru terus menerus dieksploitasi, ditebang dan dijarah untuk kepentingan bisnis, inilah ironinya.
Emisi zat buang itu ada pada kendaraan bermotor, industri pabrik, industri rumah tangga dan proses alami makhluk hidup. Secara umum sumber pencemaran dapat dibagi dua sumber diam dan sumber bergerak, sumber diam terdiri dari pembangkit listrik, industri dan rumah tangga, sedangkan sumber bergerak adalah aktivitas lalu lintas kendaraan bermotor dan transportasi laut Dari data BPS tahun 1999, di beberapa propinsi terutama di kota-kota besar seperti Medan, Surabaya dan Jakarta, emisi kendaraan bermotor merupakan kontribusi terbesar terhadap konsentrasi NO2 dan CO di udara yang jumlahnya lebih dari 50%. Penurunan kualitas udara yang terus terjadi selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kita bahwa betapa pentingnya digalakkan usaha-usaha pengurangan emisi ini. Baik melalui penyuluhan kepada masyarakat ataupun dengan mengadakan penelitian bagi penerapan teknologi pengurangan emisi.
Akibat bocornya armosfer, suhu bumi mengalami perubahan, yang menyebabkan es di kutub utara mencair, sehingga permukaan air laut mengalami kenaikan di satu sisi seringkali kita menjumpai badai yang datang dengan tiba-tiba, bahkan perubahan iklim juga menyebabkan musim berjalan tidak teratur. Musim hujan yang berlangsung secara periodik antara Oktober hingga April tersebut kadang sampai november hujan belum juga turun, sebaliknya juga musim kemarau yang terjadi dari Oktober hingga April, tetapi di bulan Mei sendiri sering terjadi ironi. Ketidak menentuan musim ini berimbas langsung pada petani tadah hujan yang memulai masa bercocok tanam dari tanda-tanda alam, tetapi karena musim tak teratut menimbulkan kesulitan tersendiri bagi petani. Untuk itulah dunia berseru, orang-orang yang masih peduli dengan lingkungan baik dari kalangan ilmuwan, cendekiawan, politisi, dari seluruh dunia bersepakat untuk menempuh cara untuk memperbaiki lingkungan melalui sebuah forum yakni UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) Sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global. Mereka berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi yang terkait dengan pemanasan global. Kerangka kerja penanganan emisi ini ada pada Protokol Kyoto, negoisasi dari negara-negara dunia untuk menurunkan emisi gas, dimana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi sebesar 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia (diolah dari berbagai sumber—with pras)
Alamku Ramah, Bumiku Hijau
Berbagai upaya terus dikembangkan untuk menurunkan laju emisi gas, para ilmuwan berusaha mengembangkan solusi alternatif untuk mengurangi emisi gas, Apa saja solusi kreatif untuk menurunkan emisi gas tersebut?
Membudayakan Sepeda dan kendaraan non BBM
Asap kendaraan hasil pembakaran bahan bakar fosil adalah penyumbang terbesar gas-gas rumah kaca yang memengaruhi perubahan iklim dunia. Karena itu, sudah saatnya kini berkendara tanpa asap, yaitu dengan menggunakan sumber energi ramah lingkungan untuk menyelamatkan bumi ini dari kehancuran. Berbagai upaya menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil dengan energi ramah lingkungan seperti sel surya, bahan bakar nabati seperti tanaman jarak atau etanol dan fuel-cell yang menggunakan hidrogen dan oksigen telah dirintis di banyak negara, termasuk juga Indonesia.
Menggantikan Kantong Plastik dengan Bahan Daur Ulang
Tengoklah sampah-sampah yang terdapat TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sebagian besar berasal dari sampah plastik atau tas-tas plastik yang sulit diurai. Tas plastik ini adalah kesulitan terbesar bagi lingkungan kita karena sulit dimusnahkan. Dibakar tidak hancur, justru menambah polutan di udara, ditimbun tidak membusuk. Diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk membuat sampah bekas kantong plastik itu benar-benar terurai. Kampanye kantong plastik ini sudah sangat gencar. Singapura melarang penggunaan kantong plastik, sedangkan Rwanda dan Tanzania sudah melarangnya sama sekali, sebagai gantinya mereka menggunakan bahan daur ulang dari kertas atau kulit jagung.
Deforestrasi Dilawan dengan Penanaman Satu Juta Pohon
Hutan Indonesia dikenal juga sebagai hutan dengan mengalami deforestrasi yang tinggi di dunia. Diperkirakan deforestrasi hutan Indonesia sebesar 1.6 sampai 1.8 juta hectars per tahun, sedangkan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) mengungkapkan data terjadinya deforestrasi di Indonesia rata-rata 2.0 juta per tahun.Tingginya deforestrasi di Indonesia disebabkan oleh tiga penyebab utama, illegal logging, perambahan hutan dan kebakaran hutan. Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Bagi Indonesia, realisasinya menurut Rahmat Witoelar adalah memerintahkan perusahan penyumbang emisi untuk melakukan penanaman pohon. Taruhlah satu pohon bisa mengonsumsi 1 ton karbondioksida sepanjang hidupnya, maka jika sebuah perusahaan mempunyai emisi sejumlah 10.000 ton per tahun, berarti wajib menanam pohon sejumlah 10.000 juga.
Konservasi Orangutan untuk Kelestarian Hutan
Orangutan adalah populasi primata yang hampir punah, kepunahan orangutan karena hutan yang banyak ditebang. Orangutan sebetulnya adalah spesies yang bisa menentukan apakah hutan itu layak huni bagi spesies satwa ataukah tidak, punahnya orangutan sekaligus menandai hutan sedang dalam ancaman pembabatan hutan yang serius. Sebagai primata yang makan banyak buah-buahan, Orangutan memainkan peran penting dalam regenerasi hutan. Saat satwa tersebut menyebarkan biji-bijian sisa makanannya membantu tumbuhnya banyak pohon dan akhirnya membantu perbaikan hutan.
Perdagangan Karbon
Peluang Indonesia Menjadi “Tempat Sampah” Negara Lain.
Arus perdagangan karbon sebagai alternatif mengatasi pemanasan global memposisikan Indonesi sebagai tempat pembuangan emisi “sampah” dari negara-negara industri. Hal ini sangat berbahaya mengingat potensi kebocoran hutan di Indonesia yang sangat besar
Perubahan iklim secara global yang dewasa ini berkembang menuntut persiapan berbagai negara dalam mengatasi dampak yang ditimbulkannya. Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya rata-rata suhu permukaan bumi (pemanasan global) karena akumulasi panas yang tertahan di atmosfer sebagai akibat dari efek rumah kaca. Hal ini didorong oleh perkambangan populasi serta aktivitas manusia, khususnya sejak Revolusi Industri pertengahan abad 19 yang telah meningkatkan emisi gas-gas rumah kaca serta memperhebat efek rumah kaca di atmosfer.
Beberapa dampak yang muncul akibat masalah pemanasan global adalah meningkatnya suhu udara yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman, terutama tanaman semusim. Hal ini juga mendorong menigkatnya serangan hama pada tanaman, sehingga mengancam keseimbangan alam yang ada. Dampak kedua yakni munculnya iklim ekstrim yang melahirkan bencana alam secara luas. Kejadian riil yang sering kita lihat diantaranya banjir, kekeringan, El Nino, La Nina. Sedangkan dampak lain yang muncul karena pemanasan global berupa peningkatan permukaan air laut yang akan menambah salinitas (kegaraman) tanah disekitar pantai. Salinitas merupakan racun bagi tanaman yang dapat mengganggu fisiologis dan fisiknya. Masalah ini akan sangat terasa pada negara-negara kepulauan luas seperti Indonesia. Sehingga berdampaki pada penciutan lahan pertanian yang sangat besar
Perdagangan Karbon sebagai Alternatif Solusi.
Setelah melalui langkah-langkah yang panjang, beberapa alternatif untuk menekan permasalahan tersebut telah dicetuskan. Diantara gagasan yang muncul adalah tentang alternatif perdagangan karbon sebagai solusi yang dianggap saling menguntungkan berbagai pihak. Ini mengingat, negara-negara industri penyumbang emisi (buangan) terbesar, tidak mempunyai lahan yang cukup dalam membuangnya. Sedang pada sisi lain, keberadaan negara-negara berkembang yang mempunyai lahan serap memadai, membutuhkan dana besar dalam upaya meningkatan produktifitas. Berangkat dari rasa saling membutuhkan itulah, kemudian muncul gagasan penjualan karbon antar negara bersangkutan.
Bagi indonesia sendiri, setelah meratifikasi Protokol Kyoto melalui undang-undang Nomor 17 tahun 2004 akan membuka peluang pada arus perdagangan karbon dalam mengatasi masalah tersebut. Untuk itu, pada bulan Juli 2005, pemerintah membentuk Komisi Nasiona; Mekanisme Pembangunan Bersih (Komna MPB) dibawah koordinasi Kementrian Lingkungan Hidup Sebagai fasilitator dan koordinator CDM (clean development mechanism ) ditingkat nasional.
Bagi Indonesia, beberapa pihak menilai arus perdagangan Karbon dianggap sangat menguntungkan. Mengingat banyaknya lahan hutan yang mampu ditawarkan dalam “bisnis baru” tersebut. Dalam proses transaksi nantinya, setiap upaya penurunan emisi yang setara dengan satu ton karbon (tCO2e) akan dinilai satu CER (certifiel emission reduntion) oleh Badan Eksekutif CDM di bawah UNFCCC (United Nations Framworks Convention on Climate Change). Harga CER sendiri sangat bervariasi, tergantung pada kesepakatan pihak-pihak yang melakukan transaksi. Namun secara umum, harga satu CER berkisar 5-15 dolar AS. Hal ini terlihat sangat menguntungkan, mengingat kekayaan hutan yang dimiliki Indonesia sangat luas. Sedikitnya 24 proyek milik 23 perusahaan menufactur nasional mengembangkan mekanisme pembangunan bersih dengan kapasitas pengurangan emisi karbon (co2) mencapai 33,03 juta ton. Dari ini saja, Indonesia akan berpeluang meraup dana maksimal US$330.juta pertahun (sekitar 3,3 truliun rupah) dengan asumsi satu CER dihargai US$10. Bahkan, anggota CDM Executif Board Liana Bratasida mengatakan bahwa indonesia mempunyai potensi penyerapan karbon sebesar 265 juta ton yang berasal dari sektor energi sebesar 125 juta ton sertya 140 juta ton dari sektor kehutanan. Dari situ terlihat berapa jumlah dana yang bisa dihasilkan dari arus perdagangan karbon ini.
Tempat sampah bagi negara lain.
Melihat angka-angka yang dihasilkan dari proyek perdagangan karbon, membuat kita berfikir betapa proyek ini sangat menguntungkan. Namun jika melihat lebih dalam, tentang dampak yang ditimbulkan tentunya tidak sebanding dengan angka-angka tersebut diatas.
Pemanasan global adalah dampak dari banyaknya emisi (buangan) sampah yang diproduksi oleh negara-negara maju. Emisi ini membawa pengaruh buruk pada lingkungan, sehingga harus ditekan keberadaannya. Dalam hal ini, kesediaan Indonesia dalam arus perdagangan karbon akan memposisikan negara ini sebagai tempat “pembuangan karbon” dari negara-negara industri. Inilah yang menjadi permasalahan, mengingat potensi kebocoran (leakage) hutan Indonesia yang cukup besar. Kondisi hutan Indonesia ini pernah disampaikan oleh penggiat lingkungan dari Wetlands International Indonesia Program, Alue Dohong.
Perdagangan karbon bukan semata masalah keuntungan materi, namun lebih jauh kita harus mampu melihat ke depan tentang dampak yang dihasilkan dari proyek ini. Menjadikan Indonesia sebagai tempat pembuangan emisi sampah adalah pilihan yang jauh dari tepat. Selain menimbulkan kerusakan hutan, masalah ini juga membatasi sumber pangan banyak kalangan yang selama ini menggantungkan hidupnya pada hutan. Kondisi hutan yang digunakan dalam bisnis ini akan menjadi lahan tertutup yang hanya bisa dinikmati oleh pihak-pihak tententu saja. Dari sinilah dikawatirkan benih-benih kapitalisme menguat di Indonesia. Tak hanya itu, perdagangan karbon yang melibatkan kekayaan alam sebagai obyeknya, akan melahirkan eksploitasi hutan yang berlebihan. Alih-alih menjadikan hutan sebagai lahan pendapatan, malah menggeser fungsi hutan bagi “tuan rumah” sendiri.
Berbagai bencana alam yang menimpa Indonesia mulai dari gempa, banjir, gunung meletus, konflik Lapindo, serta berbagai masalah alam lain yang muncul selama ini harusnya mampu membuat semua pihak jera dalam mengeksploitasi alam. Bahkan hal ini diharapkan mampu melahirkan kesadaran akan pentingnya melestarikan kekayaan alam yang telah terbengkalai selama bertahun-tahun guna menekan masalah kedepan. Ditambah masalah pemanasan global yang menjadi isu bersama, semestinya semakin menyadarkan bangsa Indonesia untuk segera berbenah diri mengatasi permasalahan-permasalan yang akan muncul. Namun sebaliknya, kondisi-kondisi tersebut justru mendorong pihak-pihak pengambil kebijakan di Indonesia untuk mengejar keuntungan finansial. Dalam jangka pendek, keterlibatan Indonesia pada arus perdagangan karbon membuat kita terpana dengan keuntungan materi yang dihasilkan. Namun lebih jauh, dampak yang nantinya muncul akibat kesediaan indonesia menjadi tempat pembuangan emisi sampah dari negara industri, akan menimbulkan kerugian yang lebih besar. Jika negara-negara maju saat ini mampu membayar jutaan dolar dalam membuang emisi, apakah Indonesia mempunyai dana sebesar itu jika nantinya semua hutan rusak dan harus membuang emisi sampah ke negara lain?
Untuk itu kita harus kembali merenungkan setiap keputusan yang akan diambil. Pertimbangan kepentingan masayarakat luas harus menjadi prioritas utama dalam menentukan pilihan. Kekayaan alam yang telah Allah hamparkan jangan sampai disia-siakan karena akan membawa kehancuran dikemudian hari.
Allah Ta’ala berfirmat dalam Al-Qu’an surat Ar-Ruum ayat 41, yang artinya :
“Telah timbul kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. Supaya Allah merasakan kepadanya sebagian dari (akibat) perbuatannya, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” -[el_Sake]